Jumat, 18 Juni 2010

P2B PERGURUAN TINGGI

Semuanya berawal pada keinginanku untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Hal ini memang sudah kurencanakan sejak masih di bangku SMA. Aku begitu antusias untuk menjalankan keseharian sebagai mahasiswa. Mahasiswa yang kritis dan modern penuh inspirasi dan kreatifitas, itulah sosok mahasiswa yang ada di benakku. Asumsi ini yang menggiringku untuk mengikuti berbagai pelatihan wajib untuk mahasiswa baru. Salah satunya kegiatan Program Persiapan Belajar (P2B).
Awalnya aku menafsirkan kegiatan ini hanya berupa kegiatan pembinaan dan pengarahan tentang bagaimana mengikuti kuliah, bagaimana struktur dan organisasi yang ada di universitas, atau selebihnya masalah disiplin dan administrasi. Ternyata dugaan tersebut salah, Program Persiapan Belajar (P2B) bukan sekedar pelatihan atau pembinaan akedemik tapi juga fisik dan mental. Hal ini terlihat dari beberapa aturan-aturan kakak panitia serta sanksi yang akan diberikan.
Sialnya,,, selama 3 hari kegiatan P2B ini, aku juga sudah melakukan 3 kali pelanggaran. Hari pertama dan kedua aku terlambat, dan hari terakhirnya ID Cardku salah. Aku harus ikhlas selama 3 hari juga fisikku dilatih secara ekstra, bahasa kasarnya dapat “sanksi”. Sebenarnya tujuan diberikan “sanksi” ini untuk melatih kedisiplinan, tapi entah mengapa sanksi yang identik dengan pelatihan fisik ini merupakan hal yang berat untuk dilaksanakan.
Alur kegiatan selama Program Persiapan Belajar (P2B) dilaksanakan. Juga memberikan paradigma yang lebih dewasa untuk aku dalam ruang lingkup perkuliahan, mendapatkan banyak manfaat buatku, aku bisa mempunyai banyak teman, mengetahui karakter teman, juga mengenal beragam hal baru tentang kampusku.

Kamis, 17 Juni 2010

MAKALAH PEMPOL MARXISME

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG
Pembangunan politik adalah bagian dari pembangunan nasional secara keseluruhan, dimana pembangunan itu diarahkan dalam rangka mewujudkan masyarakat yang demokratis sehingga terwujudnya suatu ketertiban politik. Pembangunan politik merupakan salah satu aspek pembangunan nasional yang bisa dipandang sebagai wahana bagi aspek pembangunan lainnya. Yang disebabkan oleh adanya saling keterkaitan, misalnya pembangunan ekonomi dapat mendorong pembangunan politik serta bidang-bidang lainnya.
Suatu Negara jika dari segi ekonominya maju, akan mendorong kemajuan dalam bidang yang lain, sebab dengan semakin makmurnya masyarakat, akan terciptanya suatu masyarakat yang semakin maju. Pembangunan politik apabila dikaitkan dengan Marxisme, dilihat dari segi ekonomi karena Marxisme berbasis ekonomi dan supra - strukturnya banyak,seperti ideologi, agama, politik, budaya, dan sebagainya. Marxisme menginginkan keseimbangan kelas / kesetaraan kelas untuk terwujudnya pembangunan dan kesejahteraan bersama.
Berbicara mengenai Marxisme mungkin alam pikiran kita akan langsung dibawa kepada Negara-negara berhaluan sosialis-komunis seperti Cina, Kore Utara, Vietnam, Kuba, Negara-negara eks Uni Soviet (yang kemudian pecah menjadi 14 negara republik), dan eks Jerman Timur. Paradigma ini telah tersusun begitu kuat hingga kita akan selalu berpikir bahwa Marxis adalah paham mengenai sosialis- komunis. Apakah memang benar realitanya demikian?
Ideologi Marxis tidak disangkal lagi memang sangat berkaitan dengan sosialis -komunis, akan tetapi Marxisme bukanlah paham yang 100% sosialis-komunis seperti yang kita bayangkan. Ada sebuah pencampuradukan makna yang seringkali membuat kerancuan antara pengertian Marxisme yang sebenarnya dengan paham sosialis-komunis. Menurut Franz Magnis Suseno istilah “Marxisme” tidak sama dengan komunisme. Komunisme (dalam hal ini komunisme internasional) adalah gerakan dan kekuatan politik partai-partai komunis yang menjadi kekuatan politis dan ideologis internasional di bawah pimpinan W.I Lenin. Ajaran komunis Lenin ini merupakan ideologi komunisme dunia (selanjutnya disebut dengan ideology Marxisme-Leninisme) dan Marxisme hanyalah salah satu komponen dalam komunisme yang dikenal selama ini (Suseno, 1999). Kaum komunis memang selalu mengklaim interpretasi atas ajaran Marx sebagai ideology mereka agar dipandang sebagai pewaris sah ajaran Marx ini. Istilah komunisme sendiri sebelum disahkan oleh Lenin sebagai paham komunisnya ternyata telah ada di dalam masyarakat jauh sebelum digaungkan oleh Lenin. Komunisme merupakan suatu cita-cita utopis masyarakat dimana segala hak milik pribadi dihapus dan semuanya dimiliki bersama.
Secara praktis dan ringkas pemikiran Karl Marx sebenarnya muncul dikarenakan adanya eksploitasi dari kaum borjuis terhadap kaum proletar dalam suatu proses produksi sebagai akibat dari adanya sistem kapitalisme (Woodfin, 2008). Sistem kapitalisme yang terjadi setelah revolusi industrinya berlangsung (yang menandai berakhirnya sistem feodal) dimana dipergunakan tekhnologi dalam industri yang menyebabkan peran buruh menjadi kurang. Pihak borjuis yang menguasai sarana produksi dapat dengan mudahnya mendapatkan penghasilan karena bisa melakukan proses produksi. Sebaliknya kaum proletar yang pendapatannya tergantung dengan kaum borjuis semakin terpojok akibat kapitalisme yang menggantikan posisi mereka dengan tekhnologi baru (Pozzolini, 2006). Berawal dari sinilah terjadinya antagonisme kelas antara kaum borjuis dan proletar.
Marx menolak secara tegas adanya ketidakseimbangan kelas antara proletar dan borjuis, ia menghendaki adanya revolusi proletariat. Inilah tugas yang seharusnya dilakukan oleh kaum proletar untuk mendapatkan kesetaraan dan haknya kembali yakni menggulingkan kapitalisme dengan mengebrak kaum borjuis ( Pozzolini, 2008). Dengan adanya revolusi maka kesetaraan akan didapatkan kembali dan utopianisme untuk membuat masyarakat dunia yang sosialis akan terbantahkan. Dunia yang dicita-citakan dimana hak milik pribadi dihapuskan dan menjadi hak bersama bukanlah hal yang mustahil (Suseno, 1999). Hal ini pun akan semakin membuktikan bahwa pemikirn Karl Marx bukan hanya bersifat filsafati namun sangat ilmiah (sosiologis) dan dapat diaplikasikan.
Sangat menarik membicarakan tentang Marxisme ini dalam rangka untuk mewujudkan cita-cita kaum marxis yang anti kapitalis. Studi Pembangunan Politik dapat membantu kita dalam memahami perjuangan kaum marxis yang anti kapitalisme dan untuk menuju masyarakat yang berkeadilan sosial dan ekonomi.

1.2 RUMUSAN MASALAH
Untuk mempermudah dalam penyusunan makalah ini, maka penulisan dibatasi sebagai berikut :
1.2.1 Bagaimanakah konsep Marxisme dalam Pembangunan Politik?
1.2.2 Bagaimana mekanisme perubahan manusia?
1.2.3 Apa yang dimaksud Marx, dari kapitalisme ke mayarakat tanpa kelas?
1.2.4 Bagaimanakah terjadinya Revolusi Rusia oleh Partai Bolsheviks?
1.2.5 Apa hubungan Marxisme dengan Pembangunan Politik?

1.3 TUJUAN PENULISAN
Ada beberapa alasan mengapa tulisan ini dibuat penulis, yaitu :
1.3.1 Memenuhi tugas matakuliah Pembangunan Politik
1.3.2 Menjelaskan konsep Marxisme
1.3.3 Menggambarkan mekanisme perubahan manusia
1.3.4 Menerangkan Kapitalisme ke masyarakat tanpa kelas
1.3.5 Mengemukakan Revolusi Rusia sebagai kasus Marxisme
1.3.6 Menjelaskan kaitan antara Marxisme dengan Pembangunan Politik



BAB II
PEMBAHASAN

2.1 MARXISME
Marxisme adalah sebuah paham yang mengikuti pandangan-pandangan dari Karl Marx. Marx menyusun sebuah teori besar yang berkaitan tentang konflik kelas antara kaum borjuis dengan proletar yang berbasis pada ekonomi dan supra - strukturnya terdiri dari ideologi, agama, politik dan budaya. Para pengikut teori ini disebut sebagai Marxis. Teori ini merupakan dasar teori komunisme modern. Teori ini tertuang dalam buku Manifesto Komunis yang dibuat oleh Karl Marx dan sahabat karibnya, Friedrich Engels. Marxisme merupakan bentuk protes Marx terhadap paham kapitalisme. Menurutnya bahwa kaum kapital mengumpulkan uang dengan mengorbankan kaum proletar.
Keadaan para kaum proletar yang sangat menyedihkan karena dipaksa bekerja berjam-jam dengan upah sangat minimum sementara hasil keringat mereka dinikmati oleh kaum kapitalis. Banyak kaum proletar yang harus hidup dalam penderitaan, tinggal di daerah pinggiran dan kumuh. Menurut Marx, masalah ini disebabkan oleh adanya “kepemilikan pribadi” atas alat-alat produksi oleh kaum borjuis. Marx menginginkan penghapusan “kepemilikan pribadi” tadi, untuk kemudian menjadi kepemilikan bersama. Adapun hal lain yang juga penting sebagai upaya untuk mensejahterakan kaum proletar, menurut Marx paham kapitalisme diganti dengan paham komunisme. Jika kepemilikan bersama dan paham komunisme tidak terwujud, kaum proletar akan memberontak untuk menuntut keadilan. Itulah dasar dari marxisme.
Lima tahap perkembangan ide marxisme: Hegel= bagaimana membebaskan manusia dari penindasan, struktur politik yang revolusioner (tahap 1), Feurbach= alienasi , keterasingan dari dirinya sendiri (tahap 2), F Engels = sosialisme klasik, manusia dapat dibebaskan asal penindasan dari kaum buruh dihapuskan (tahap 3), perkembangan dari ekonomi yang menentukan sejarah perkembangan manusia, bukan ideologi, politik dan lainnya(tahap 4) Kontradiksi internal sistem produksi kapitalis akhirnya yang akan menghapus hak milik pribadi atas alat-alat produksi dan mewujudkan masyarakat kapitalis tanpa kelas= Sosialisme ilmiah (tahap 5). Tahap 1-3 disebut dengan Marx muda dan tahap 4-5 Marx tua.
Adapun prinsip-prinsip pokok program politik Marxis, antara lain : Orientasi Internasionalis dan masalah kepemilikan alat-alat produksi.
1) Orientasi Internasionalis
Dalam pikiran Marx pentingnya internasionalisme tidak bisa disangkal, namun internasionalisme Marxis bukanlah komitmen moral yang bersifat abstrak (sebetulnya liberal borjuis) kepada semacam “persaudaraan internasional semua bangsa”, melainkan mendasarkan diri terhadap keberadaan proletariat sebagai kelas internasional, yang diciptakan oleh pasar kapitalis sedunia, dan terpaksa harus berjuang di tingkat internasional untuk melawan sistem kapitalisme itu.
Sifat dasar dari internasionalisme Marxis adalah prioritasnya kepada kepentingan global kelas buruh. Secara lebih konkrit bias dijelaskan sebagai berikut: misal seorang buruh revolusioner yang belum pernah meninggalkan kampong halamannya dan tidak dapat berbahasa asing, tetapi melawan pemerintah nasional di masa perang, maka ia disebut sebagai seorang internasionalis. Sedangkan seorang professor terhormat yang pernah berkeliling dunia, yang fasih dalam banyak bahasa, tetapi di masa perang tetap menyokong pemerintah borjuis adalah seorang nasionalis.
2) Kepemilikan alat-alat produksi. Banyak pengamat (pengamat borjuis tetapi juga banyak yang menganggap dirinya “Marxis”) percaya bahwa prinsip utama Marxisme dan sosialisme adalah nasionalisasi alat-alat produksi tersebut. Argumentasi Kaum sosialis: kapitalisme, yang sama dengan kepemilikan swasta, adalah irasional dan tidak adil , dan menyebabkan krisis ekonomi serta kemiskinan, perang, dan sebagainya. Seandainya perusahaan-perusahaan ada di tangan aparatur Negara dan disertai dengan perencanaan ekonomi, maka keadaan akan lebih rasional dan adil. Perjuangan kelas buruh dimengerti sebagai cara untuk mencapai tujuan (nasionalisasi) itu. Jika timbul cara alternative, seperti perang gerilya atau proses parlementer, cara-cara ini mungkin saja dianggap cocok juga. Proses nasionalisasi adalah tujuan dan perjuangan kelas buruh sebagai alat.
Sedangkan pendekatan Marxis jauh berbeda, proletariat sedang berjuang melawan kaum kapitalis yang menghisap dan menindas kaum buruh. Maka satu-satunya cara untuk memenangkan perjuangan ini dan membebaskan diri dengan mengalahkan kelas kapitalis di kancah politik serta merebut alat-alat produksi mereka. Hal itu mungkin terjadi jika proletariat menciptakan apparatus Negara yang baru. Pendekatan ini dijelaskan dalam manifesto komunis:

Telah kita lihat di atas, bahwa langkah pertama dalam revolusi kelas buruh, adalah mengangkat proletariat pada kedudukan kelas yang berkuasa, memenangkan perjuangan demokrasi. Proletariat akan menggunakan kekuasaan politiknya untuk merebut, selangkah demi selangkah, semua capital dari borjuasi, memusatkan semua perkakas produksi ke dalam tangan Negara, artinya proletariat yang terorganisasi sebagai kelas yang berkuasa; dan untuk meningkatkan jumlah tenaga-tenaga produktif secepat mungkin
Untuk kaum marxis, pembebasan kelas buruh merupakan tujuannya; dan nasionalisasi perkakas produksi adalah sebagai caranya.
Perselisihan ini “kedua jiwa sosialisme” sangatlah penting, dan kita akan kembali ke hal itu berkali-kali. Tujuan sosialis yang terakhir yaitu masyarakat tanpa perbedaan kelas-tentunya adalah aspirasi umat manusia sejak dahulu kala. Namun marxisme berbeda karena mendasarkan aspirasi ini, sebagai kemungkinan realistis, pada perkembangan proletariat, ‘sebuah kelas yang karena posisinya dalam masyarakat, hanya dapat membebaskan diri dengan menghapuskan semua kekuasaan yang berkelas, semua perhambaan dan penghisapan. Secara teoritis, peralihan dari kapitalisme ke komunisme (diktatur proletariat) ialah hanya kelanjutan dari perjuangan kaum buruh sampai ke kemenangan. Namun bentuk khusus diktator tersebut tidak ditemukan baik oleh Marx maupun pemikir Marxis yang lainnya, melainkan oleh kaum buruh revolusioner sendiri.
Kelas buruh sebagai kelas tertindas tidak pernah dan tidak akan bisa memperbaiki taraf hidup mereka. Kelas ini tidak memiliki alat-alat dan bentuk-bentuk produksi seperti yang dimiliki kelas borjuasi. Yang dilakukan mereka hanyalah menjual tenaga kerja kepada kelas penindas hanya sekedar untuk tetap bisa hidup. Hidup mereka, karena sistem kerja yang eksploitatif, hanya diabdikan untuk menciptakan dan akumulasi capital. Hubungan eksploitatif antara dua kelas itu menurut Marx akan menciptakan antagonism kelas (class antagonism) yang kemudian akan melahirkan krisis revolusioner. Bila situasi sudah demikian, maka kaum proletar atau kelas pekerja melalui proses sosial tertentu akan menjadi kelas revolusioner. Mereka menjadi kelas yang menghendaki perubahan struktural, mengambil alih kekuasaan dengan paksa dan melakukan transformasi struktur sosial secara revolusioner.
Marx berharap kelas pekerja menjadi kelas penguasa bila berhasil merebut kekuasaan dan kapital kaum borjuis kapitalis dan memusatkan semua alat-alat produksi di tangan kelas pekerja. Akhir perjuangan kaum pekerja menentang kelas kapitalis adalah terciptanya masyarakat tanpa kelas (class less society). Masyarakat tanpa kelas, menurut Marx, ditandai oleh lenyapnya perbedaan-perbedaan kelas dan produksi dikuasai oleh bangsa serta kekuasaan Negara akan kehilangan karakter politiknya. Maksudnya kekuasaan politik (organized power) itu tidak lagi bersifat opressif dan menindas masyarakat.
Yang dimaksud Marx dengan revolusi jelas bukan revolusi damai (glorious revolution)seperti di Inggris abad XIII, melainkan revolusi kekerasan. Dalam revolusi itu, konflik antara proletar dan borjuis tidak terelakkan. Marx dan Engels selalu menekankan makna pentingnya konflik kelas (driving force of history). Menurut Marx tanpa konflik kelas, tidak akan ada kemajuan karena hal itu merupakan hokum yang selalu menyertai peradaban (sejak dahulu) hingga sekarang . Oleh karena itu hanya konflik kelaslah yang dapat mengubah secara structural kehidupan masyarakat dan setiap kelas yang berkonflik selalu menunjukan hubungan dialektis dalam pengertian Hegelian. Yaitu satu kelas menjadi thesis dan kelas lainnya menjadi antithesis.
Akar-akar konflik itu menurut Marx tidak disebabkan hanya karena perbedaan pendapat capital dalam bentuk kekayaan pasif, melainkan perbedaan tajam menyangkut hubungan, pemilikan dan penggunaan bentuk serta kekuatan-kekuatan produksi aktif. faktor-faktor ini penting karena, hubungan produksi-hubungan otoritas yang terbentuk karena ketimpangan dalam distribusi kekayaan dalam produksi industrial, misalnya merupakan unsure konstitutif konflik kelas dan perkembangannya.

2.2 MEKANISME PERUBAHAN MANUSIA

Marx berpendapat bahwa setiap perubahan social mesti bersifat revolusioner. Tidak ada perubahan perlahan-lahan. Sejarah dimengerti sebagai pergantian terus menerus antara keadaan-keadaan yang stabil dan tidak berubah.
Inti pandangan materialis sejarah adalah bahwa selama masyarakat terdiri dari kelas-kelas social yang berbeda, bidang ekonomi memuat dua unsur yang kontradiktif, dan bahwa kontradiktif ini niscaya cepat atau lambat akan mengakibatkan perubahan secara revolusioner. Di satu pihak ada unsur yang menentang segala perubahan yaitu struktur kekuasaan ekonomis atau struktur pemilikan modal. Kelas-kelas atas yang menguasai masyarakat dengan sendirinya berkepentingan mempertahankan kedudukan mereka. Maka mereka menentang segala perubahan social kelas-kelas bawah tidak dapat memperbaiki kedudukan mereka. Tetapi di lain pihak kelas-kelas atas berkepentingan untukterus menerus meningkatkan produktivitas pekerjaan. Lama kelamaan hubungan-hubungan social yang tetap tidak dirubah semakin tidak memadai dengan tuntutan-tuntutan rasionalitas ekonomi yang terus meningkat. Kontradiksi ini terungkap dalam ketegangan antara kelas-kelas pekerja dan pemilik yang semakin tajam. Akhirnya struktur kekuasaan ekonomi sedemikian irrasional sehingga tidak dapat dipertahankan lagi. Perlawanan kelas-kelas pekerja tidak dapat ditindas lagi , dan terjadilah suatu perubahan revolusioner

2.3 DARI KAPITALISME KE MASYARAKAT TANPA KELAS
Yang membedakan masyarakat kapitalis dari semua masyarakat sebelumnya dalam pandangan Marx ialah bahwa revolusi yang akan mengakhirinya, revolusi sosialis akan menghasilkan masyarakat tanpa kelas.
Dalam masyarakat kapitalis nafsu mencari untung, yang dalam masyarakat prakapitalis diselubungi dalam berbagai ideologi yang suci yang diakui secara resmi sebagai nilai utama. Uang atau modal dan bukan konsumsi menjadi tujuan kegiatan ekonomis. Maka terjadi akselerasi perkembangan produksi dan penyederhanaan struktur-struktur social. Desakan untuk menaikan produktifitas semakin besar dan persaingan antara para kapitalis semakin tajam. Kantong-kantong produksi dengan gaya prakapitalis, perusahaan-perusahaan kecil dan menengah semakin terserap ke dalam proletariat. Maka jumlah buruh semakin bertambah. Meluasnya kelas buruh dan rasionalisasi produksi yang semakin mengurangi jumlah buruh yang masih mendapat pekerjaan, semakin memiskinkan kelas buruh. Perkembangan ini membuat kaum buruh menjadi sadar akan situasi mereka dan semakin militant. Akhirnya tinggal dua kelas saja yang saling berhadapan: segelintir pemilik modal yang terus merasionalisasikan produksi dan massa kaum buruh yang tidak lagi dapat membeli produksi itu karena mereka terlalu miskin. Itulah saat revolusi sosialis tidak terelak lagi karena merupakan satu-satunya jawaban rasional atas situasi ini.
Mengapa Marx percaya bahwa dalam situasi ini Negara akan hilang dengan sendirinya? Menurut Marx Negara hanya dibutuhkan pada permulaan sosialisme. Sebagai langkah pertama didirikan “dictator proletariat”. Yang dimaksud dengan istilah itu, bahwa kaum buruh memastikan bahwa kaum kapitalis tidak dapat bangkit lagi. Sesudah sisa kapitalis melebur dengan buruh, masyarakat seluruhnya hanya terdiri dari buruh saja, jadi sudah tidak ada kelas-kelas yang berbeda lagi. Baru sesudah itu setiap orang dapat bekerja dengan bebas dan kreatif: “Dalam masyarakat komunis, dimana masing-masing orang tidak terbatas pada bidang kegiatan ekslusif, melainkan dapat mencapai kecakapan dalam bidang apapun juga. Masyarakat mengatur produksi umum. Itulah saat dimana Negara, alat penindas kelas atas terhadap kelas bawah, tidak diperlukan lagi karena “tidak ada lagi yang dapat ditindas”. Negara tidak dihapus, ia mati dengan sendirinya. Proses produksi dipimpin oleh persekutuan bebas semua individu.

2.4 REVOLUSI RUSIA
Revolusi Rusia merupakan sebuah gerakan yang dimotori oleh Lenin, seorang penganut ajaran Karl Marx. Nama asli dari Lenin adalah Vladimir Ilyich Ulyanov , kemudian nama samaran nya "Nikolai Lenin", dia lahir pada tahun 1870. Ayahnya seorang inspektur sekolah-sekolah di daerah Volga yang patuh terhadap negara. Namun dia mempunyai kakak yang bernama Alexander, seorang yang turut aktif dalam gerakan populis radikal, karena berkomplot untuk membunuh Tsar, kakaknya dihukum mati pada tahun 1887. Beberapa bulan kemudian Vladimir Ilyich ikut berdemonstrasi di kampus dan dikeluarkan dari universitas. Selama beberapa tahun dia mencari akal tentang jalan mana yang harus ditempuhnya, apakah jalan populis seperti kakaknya atau jalan lain. Awalnya Lenin terpengaruh oleh populisme, namun setelah mempelajari "Das Kapital" Lenin semakin cenderung ke arah Marxis. Pada umur dua puluh tiga Lenin sudah menjadi seorang Marxis yang berkobar-kobar. Bulan Desember 1895 dia ditahan oleh pemerintah Tsar karena kegiatan revolusionernya dan dijebloskan ke dalam penjara selama empat belas bulan. Sesudah itu dia dibuang ke Siberia.
Selama tiga tahun di Siberia (yang tampaknya tidak digubrisnya sebagai siksaan) dia kawin dengan wanita yang juga berfaham revolusioner dan menulis buku Pertumbuhan Kapitalisme di Rusia. Masa pembuangannya di Siberia berakhir bulan Februari 1900 dan beberapa bulan kemudian Lenin melakukan perjalanan ke Eropa Barat. Tak kurang dari tujuh belas tahun lamanya dia berkelana, menjadi seorang mahaguru revolusioner. Kemudian dia sebagai pimpinan dari Partai Bolsheviks, yaitu sebuah partai pecahan dari Partai Buruh Sosial-Demokrat Rusia yang terpecah menjadi dua bagian, Bolsheviks merupakan pecahan yang lebih besar di antara pecahan yang satunya.
Perang Dunia I membuka peluang besar buat Lenin. Perang ini membawa malapetaka baik militer maupun ekonomi bagi Rusia dan akibatnya menambah ketidakpuasan rakyat kepada sistem pemerintahan Tsar. Akhirnya pemerintah Tsar ini digulingkan di bulan Maret tahun 1917 dan untuk sementara waktu tampaknya Rusia dipimpin oleh sebuah pemerintah demokratis. Begitu mendengar kejatuhan Tsar, Lenin buru-buru pulang ke .Rusia dan sesampainya di negeri asalnya ia dengan cepat dapat melihat dan mengambil kesimpulan bahwa partai-partai demokratis --walau sudah mendirikan pemerintahan sementara-- tak punya daya kekuatan cukup dan kondisi ini sangat baik buat partai Komunis yang punya pegangan disiplin kuat untuk menguasai keadaan biarpun anggotanya sedikit. Karena itu Lenin mendorong kaum Bolshevik melompat kedepan mengguhngkan pemerintahan sementara dan menggantinya dengan pemerintahan Komunis. Percobaan pemberontakan di bulan Juli tidak berhasil dan memaksa Lenin menyembunyikan diri. Percobaan kedua di bulan Nopember 1917 berhasil dan Lenin menjadi kepala negara baru.
Selaku kepala pemerintahan, Lenin keras tetapi di lain pihak dia amat pragmatis. Mula-mula dia ajukan tekanan yang tak kenal kompromi adanya masa transisi singkat menuju masyarakat yang ekonominya sepenuhnya berdasar sosialisme. Ketika ini tidak jalan, dengan luwes Lenin mundur dan mengambil jalan sistem ekonomi campuran kapitalis-sosialistis. Ini berjalan di Uni Soviet selama beberapa tahun.
Di bulan Mei 1922 Lenin sakit keras sehingga antara serangan sakit itu hingga wafatnya tahun 1924 praktis Lenin tidak bisa berbuat apa-apa. Begitu wafat, jasadnya dengan cermat dibalsem dan dipelihara, dibaringkan di musoleum di Lapangan Merah hingga saat ini.

2.5 HUBUNGAN MARXISME DENGAN PEMBANGUNAN POLITIK
- Spirit yang dibangun masyarakat pada dasarnya adalah melakukan kritik terhadap kapitalisme dengan tujuan untuk menuju masyarakat yang berkeadilan social dan ekonomi
- Pada Karangan Karl Marx yaitu Das Capital jilid 1, berargumen tentang hal yang tidak mengesankan dari kapitalisme, yakni mengenai komoditas
- Kapitalisme menurut Marx adalah system sosio ekonomi yang dibangun untuk mencari keuntungan yang didapat dari proses produksi, bukan dari perdagangan, riba, memeras, atau mencari secara langsung, tetapi melalui cara mengorganisasikan mekanisme produksi secara tertentu sehingga mengurangi biaya produksi seminimal mungkin atau melalui suatu mode of production

BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
1. Marxisme adalah suatu faham dari Karl Marx yang dilatari dari konflik kelas, yaitu antara kelas borjuis dengan kelas proletar. Dimana adanya suatu eksploitasi dari kaum borjuis terhadap kaum proletar dalam suatu proses produksi sebagai akibat dari adanya sistem kapitalisme Yang kemudian menimbulkan perlawanan dan perjuangan kelas buruh melawan sistem kapitalis, dan juga untuk mewujudkan obsesi kemenangan gerakan sosialis dimana mereka menginginkan penghapusan kelas, penghapusan kepemilikan pribadi, dan perubahan kapitalisme menjadi komunisme. Marxisme ini berbasis pada ekonomi yang kemudian menciptakan supra-struktur (politik-ideologi dll)—hubungan-hubungan ekonomi menghasilkan fenomena-fenomena sosial, budaya dan politik yang meliputi semua hal termasuk diantaranya ideologi, kesadaran politik hingga budaya yang berhubungan dengan media. Ide-ide utama dalam Marxisme meliputi Eksploitasi, Alienasi, Basis dan Superstructure, Kesadaran Kelas (Class Consciousness), Ideologi, Materialisme Historis, dan Ekonomi Politik.
2. Di setiap perubahan social mesti bersifat revolusioner. Tidak ada perubahan perlahan-lahan. Selama di dalam suatu masyarakat terdiri dari kelas-kelas social yang berbeda, misal perbedaan kelas dari segi ekonomi, kelas borjuis dengan kelas proletar. Maka cepat atau lambat akan terjadi suatu perubahan secara revolusioner. Hal itu disebabkan oleh ketidakseimbangan kelas, dan juga bentuk eksploitasi oleh kaum borjuis terhadap kaum proletar, yang membuat kaum proletar tidak puas sehingga ketegangan antara kelas borjuis dengan kelas proletar pun tidak terelakan. Bila situasi sudah demikian, maka kaum proletar atau kelas pekerja melalui proses sosial tertentu akan menjadi kelas revolusioner. Mereka menjadi kelas yang menghendaki perubahan struktural, mengambil alih kekuasaan dengan paksa dan melakukan transformasi struktur sosial secara revolusioner.
3. Kapitalisme akan diakhiri oleh sebuah revolusi, revolusi oleh kaum yang tertindas yang kemudian akan menciptakan masyarakat tanpa kelas atau penghapusan atas kelas. Dimana kapitalisme itu dianggap sebagai suatu bentuk ketidakadilan, yang membuat kaum buruh semakin miskin dan menderita. Atas keadaan yang demikian kaum buruh menjadi sadar akan situasi mereka dan semakin militant. Maka revolusi sosialis lah yang menjadi satu-satunya jawaban rasional atas situasi ini. Kaum buruh bangkit, merebut pabrik dan modal dari tangan kaum kapitalis, mencampakkan mereka ke dalam kelas buruh juga dan sendiri mengorganisasikan proses produksi. Sesudah sisa kapitalis melebur dengan kaum buruh, masyarakat seluruhnya hanya terdiri dari buruh saja, jadi sudah tidak ada lagi kelas-kelas yang berbeda
4. Lenin merupakan seorang yang menganut paham dari Karl Marx. Lenin mendirikan komunisme di Rusia melalui revolusi partai yang dipimpinnya yaitu Partai Bolsheviks. Dia mempunyai peran besar atas tersebarnya komunisme di dunia. Keadaan Rusia yang awalnya tumbuh suatu kapitalisme yang kemudian terjadi revolusi kaum proletar, hal itu cocok dengan Marxisme Karl Marx dimana situasi yang sama juga terjadi pada masanya. Revolusi Rusia terjadi pada tahun 1917, setelah menggulingkan pemerintahan Tsar untuk sementara waktu tampaknya Rusia dipimpin oleh sebuah pemerintah demokratis. Partai-partai demokratis --walau sudah mendirikan pemerintahan sementara-- tak punya daya kekuatan cukup dan kondisi ini sangat baik buat partai Komunis yang punya pegangan disiplin kuat untuk menguasai keadaan biarpun anggotanya sedikit. Karena itu Lenin mendorong kaum Bolshevik melompat kedepan menggulingkan pemerintahan sementara dan menggantinya dengan pemerintahan Komunis. Percobaan pemberontakan di bulan Juli tidak berhasil dan memaksa Lenin menyembunyikan diri. Percobaan kedua di bulan Nopember 1917 berhasil dan Lenin menjadi kepala negara baru. Ciri penting dari Lenin adalah dia seorang yang cepat bertindak sehingga dialah orang yang mendirikan pemerintahan Komunis di Rusia. Dia menganut ajaran Karl Marx dan menterjemahkannya dalam bentuk tindakan politik praktis yang nyata. Sejak bulan Nopember 1917 telah terjadi ekspansi kekuatan Komunis ke seluruh dunia. Kini, sekitar sepertiga penduduk dunia menganut faham Komunis. Jelas Komunisme adalah gerakan besar yang punya arti penting sejarah. Tidaklah jelas benar siapakah yang bisa dianggap paling berpengaruh dalam gerakan ini, Marx atau Lenin. Marx punya arti lebih penting karena dia mendahului dan mempengaruhi Lenin. Tetapi masih bisa dibantah anggapan ini karena kemampuan politik praktis Lenin merupakan faktor yang amat ruwet dalam hal mendirikan Komunisme di Rusia. Tanpa peranan Lenin, Komunis rasanya mesti menunggu bertahun-tahun untuk punya kesempatan memegang kekuasaan dan akan menghadapi perlawanan yang lebih terorganisir. Karena itu, bukan mustahil tidak bisa berhasil.
5. Hubungan antara Marxisme dengan Pembangunan Politik yaitu spirit yang dibangun masyarakat pada dasarnya adalah melakukan kritik terhadap kapitalisme dengan tujuan untuk menuju masyarakat yang berkeadilan sosial dan ekonomi

DAFTAR PUSTAKA


 http://media.isnet.org/iptek/100/index.html
 Julian. 2000. Karl Marx Aku Bukan Marxis. Jakarta: Teplok Press
 Suhelmi, Ahmad. 1999. Pemikiran Politik Barat. Jakarta: Darul Falah
 Suseno, Franz Magnis. 1987. Etika Politik. Jakarta: PT. Gramedia
 Suseno, Franz Magnis. 1999. Pemikiran Karl Marx, dari Sosiaisme Utopis ke Perselisihan Revisiosme. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama

TIPS MENULIS PAPER

Apa tujuan penulisan essai/paper?

Menulis paper adalah menghasilkan suatu pembahasan mengenai suatu tema tertentu dengan dukungan argumen yang cukup kuat. Untuk menghasilkan sebuah paper yang baik, anda harus melakukan riset, yakni melakukan investigasi terhadap topik anda dengan jalan membaca. Sumber bacaan bisa berupa buku, majalah, surat khabar atau sumber-sumber dari internet. Informasi yang anda peroleh dari berbagai sumber ini akan anda gunakan untuk mendukung poin-poin (argumen ataupun pernyataan) yang anda tulis dalam paper anda.

Apa yang diharapkan dosen dari essai/paper anda?

1. Pembahasan yang sangat terfokus mengenai sebuah topik yang dipilih.
2. Hasil dari suatu riset pustaka yang cukup luas dan kritis.
3. Argumen yang dikembangkan dengan baik dalam artian didukung oleh rangkaian logika yang kuat.
4. Pembahasan yang dipresentasikan dengan bahasa yang baik dan benar.


Apa yang harus dilakukan ketika membaca sebuah pertanyaan essai/paper?

Temukan subyek dari tema yang dipilih/ditentukan.

Menemukan subyek (teori, konsep, dsb) merupakan langkah awal bagi sebuah essai yang baik. Tanpa menemukan subyek yang dipermasalahkan, sebuah essai akan cenderung keluar dari jalur yang diinginkan (tidak terfokus).


Pahami permasalahan

Permasalahan memberikan instruksi kepada anda mengenai apa yang harus anda lakukan setelah anda menemukan subyeknya: uraikan, jelaskan, bandingkan dan sebagainya.


Proses penulisan

Pada bagian ini anda HARUS sudah yakin dengan subyek dan permasalahan yang harus anda jawab. Tergantung dari permasalahan yang diberikan, menentukan posisi mungkin merupakan bagian penting dalam proses penulisan ini karena argumen-argumen yang anda tampilkan akan sangat dipengaruhi oleh posisi anda. Juga, posisi anda akan sangat membantu anda mempertahankan koherensi struktur pembahasan paper/essai anda.


Apa komponen-komponen dalam pembahasan sebuah essai?

1. Sebuah essai/paper MUNGKIN menuntut anda untuk:

- mendefinisikan
- mendeskripsikan
- menjelaskan
- mengelaborasi
- membandingkan
- menrangkum


2. Sebuah essai/paper HARUS mengandung komponen-komponen berikut:

- analisa: memecah-mecah unit-unit pembahasan untuk disesuaikan dengan argumen besar anda
- penilaian: membandingkan kekuatan dan kelemahan dari konsep, fakta yang kita bahas
- evaluasi: sebuah konklusi tentatif yang menegaskan posisi anda dalam isu yang dibahas


Bagaimana mendukung argumen kita?

Argumen yang baik akan muncul jika anda tidak membuat penyataan (kalimat) yang tidak bisa didukung tulisan anda. Pernyataan ‘Sistem politik yang tidak demokratis merupakan penyebab krisis di Asia’ tetap akan berupa pernyataan sampai anda secara meyakinkan mendukung pernyataan anda tersebut. Ada beberapa cara untuk mendukung argumen anda.

1. Gunakan data, baik primer maupun sekunder, kualitatif maupun kuantitatif

2. Manfaatkan bahan bacaan untuk mendukung argumen anda.

  • Satu-satunya legitimasi untuk mengutip sebuah tulisan (karya) orang adalah untuk mendukung argumen anda (memperkuat posisi yang anda ambil).
  • Sekali anda mengutip, anda bertanggung jawab terhadap apa yang anda kutip.
  • Usahakan untuk tidak menampilkan kutipan yang terlalu panjang tanpa alasan yang jelas dan diterima. Mengungkapkan kembali dengan bahasa anda (paraphrasing) merupakan cara yang lebih disukai daripada sebuah kutipan panjang.
  • Ungkapkan penghargaan anda kepada orang yang telah anda refer atau kutip dengan menyebutkan sumber kutipan dan referensi anda.

2. Metode diskursif

a. Ilustrasi
b. Perbandingan
c. Pernyataan kembali
d. Definisi
e. Hubungan kausal
f. Klasifikasi
g. Qualifikasi

Bagaimana rangkaian paragraf yang baik?

  • Paragraf dalam suatu tulisan akademik memiliki struktur yang sangat khas. Kebanyakan paragraf dikembangkan dari sebuah poin atau gagasan pokok yang biasanya merupakan suatu generalisasi atau suatu peryataan, sekalipun tidak jarang beberapa paragraf berkembang dari sebuah gagasan pokok. Gagasan pokok ini bisa berada di awal atau di akhir paragraf.
  • Ada beberapa cara untuk menciptakan rangkaian paragraf-paragraf yang baik.

a. Repetisi. Ini merupakan gagasan yang paling sederhana.

Upaya untuk menjadikan negara-negara pasca-kolonial lebih bisa dikendalikan adalah dengan melalui proses inklusi ke dalam sistem yang ada (kalimat akhir suatu paragraf)

Proses inklusi ini dilakukan antara lain dengan mengintroduksi program-program pembangunan di negara-negara tersebut atau melalui bantuan asing (Kalimat pertama paragraf berikutnya)

b. Pertanyaan-jawaban.

Mengapa muncul kecenderungan ke arah proteksionisme? (Kalimat akhir suatu paragraf)

Para penganut pemikiran hegemonic stability mengkaitkan pasar bebas (dan proteksionisme) dengan keberadaan sebuah negara hegemonic (Kalimat awal dari paragraf berikutnya)

c. Ringkasan.

Program-program bantuan Asing mengandung elemen-elemen yang sangat mengikat (Kalimat akhir suatu paragraf)

Karena elemen-elemen yang mengikat inilah, bantuan asing seringkali dianggap sebagai pendorong dependensi (Kalimat awal paragraf berikutnya)

Bagaimana membuat kesimpulan yang baik?

· Kesimpulan BUKAN ringkasan. Dalam bagian ini anda dituntut untuk benar-benar menyimpulkan, yakni membawa essai/paper anda pada suatu resolusi sesuai dengan topik/pertanyaan yang anda bahas. Refer kembali ke topik untuk memperoleh nuansa kesatuan antara pertanyaan dan pembahasan anda.

· Coba renungkan sejenak dan lakukan refleksi terhadap apa yang telah anda temukan selama pembahasan dan selama anda mengembangkan argumen anda. Konklusi apa yang bisa anda tarik?

· Pengungkapan konklusi bisa sangat bervariasi. Tetapi, jika mungkin sisakan sesuatu agar pembaca berfikir. Ingat, kesimpulan adalah kesan akhir yang akan dimiliki oleh pembaca dari karya anda. Jadi, bukan sesuatu yang bisa dibuat sambil lalu.

Apakah penampilah fisik paper penting bagi penilaian?

  • Penilaian terhadap essai/paper anda pada umumnya tidak ditentukan oleh penampilan fisik paper yang anda tulis. Misalnya, sekalipun penjilidan yang profesional mungkin memberikan hasil yang optimal bagi penampilan fisik essai/paper anda, staples di pojok kiri atas sebenarnya lebih dari cukup. Yang penting, paper anda tidak bercerai berai ketika dibaca.
  • Yang sangat tidak dianjurkan dan sebaiknya dihindari adalah menjilid essai/paper anda dengan sampul plastik. Sampul plastik bagi sebuah paper adalah pemborosan dan beban, bukan hanya bagi anda, tetapi juga bagi alam. Oleh karenanya, tidak ada tip yang lebih baik selain kurangi atau, jika mungkin, hindari!

MAKALAH BIROKRASI INDONESIA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Birokrasi adalah sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang pada hierarki dan jenjang jabatan. Fenomena birokrasi selalu ada bersama kita dalam kehidupan kita sehari-hari dan setiap orang seringkali mengeluhkan cara berfungsinya birokrasi sehingga pada akhirnya orang akan mengambil kesimpulan bahwa birokrasi tidak ada manfaatnya karena banyak disalahgunakan oleh pejabat pemerintah (birokratisme) yang merugikan masyarakat.
Birokrasi bukanlah suatu fenomena yang baru bagi kita karena sebenarnya telah ada dalam bentuknya yang sederhana sejak beribu-ribu tahun yang lalu. Namun demikian kecenderungan mengenai konsep dan praktek birokrasi telah mengalami perubahan yang berarti sejak seratus tahun terakhir ini. Dalam Masyarakat yang modern, birokrasi telah menjadi suatu organisasi atau institusi yang penting. Pada masa sebelumnya ukuran negara pada umumnya sangat kecil, namun pada masa kini negara-negara modern memiliki luas wilayah, ruang lingkup organisasi, dan administrasi yang cukup besar dengan berjuta-juta penduduk.
Kajian birokrasi sangat penting dipelajari, karena secara umum dipahami bahwa salah satu institusi atau lembaga, yang paling penting sebagai personifikasi negara adalah pemerintah, sedangkan personifikasi pemerintah itu sendiri adalah perangkat birokrasinya (birokrat).
Membicarakan tentang birokrasi tentunya sangat penting bagi kita untuk mengetahui bagaimana sejarah birokrasi. Birokrasi memiliki asal kata dari Burcau, digunakan pada awal abad ke 13 di Eropa Barat bukan hanya untuk menunjuk pada meja tulis saja, akan tetapi lebih pada kantor, semisal tempat kerja dimana pegawai bekerja. Makna asli dari birokrasi berasal dari Prancis yang artinya pelapis meja. Bentuk birokrasi paling awal terdiri dari tingkatan kasta rohaniawan / tokoh agama. Negara memformulasikan,memaksakan dan menegakkan peraturan dan memungut pajak, memberikan kenaikan kepada sekelompok pegawai yang bertindak untuk menyelenggarakan fungsi tersebut.
Sangat menarik membicarakan tentang birokrasi, karena dalam realita kehidupan birokrasi terkesan negatif dan menyulitkan dalam melayani masyarakat, padahal para pegawai birokrasi itu dibayar dari duit masyarakat. Dan terkadang wewenang yang diberikan kepada pegawai dari birokrasi disalahgunakan. Misalnya seperti masalah tentang korupsi di dirjen pajak yang hangat-hangatnya dibicarakan akhir-akhir ini. Oleh karena itu sangat diperlukan adanya reformasi birokrasi

1.2 Rumusan Masalah
Untuk mempermudah dalam penyusunan makalah ini, maka penulisan dibatasi sebagai berikut :
1.2.1 Bagaimana reformasi birokrasi di Dirjen Pajak ?
1.2.2 Apa tujuan reformasi birokrasi ?
1.2.3 Apa masalah, kelemahan, dan prasyarat reformasi birokrasi ?

1.3 Tujuan Penulisan
Ada beberapa alasan mengapa tulisan ini dibuat penulis, yaitu :
1.3.1 Memenuhi tugas mata kuliah Birokrasi Indonesia.
1.3.2 Menjelaskan bagaimana reformasi birokrasi di Dirjen Pajak
1.3.3 Memaparkan tujuan reformasi birokrasi
1.3.4 Menjelaskan masalah, kelemahan, dan prasyarat reformasi birokrasi

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Reformasi Birokrasi Dirjen Pajak
Reformasi adalah mengubah atau membuat sesuatu menjadi lebih baik daripada yang sudah ada. Reformasi ini diarahkan pada perubahan masyarakat yang termasuk didalamnya masyarakat birokrasi, dalam pengertian perubahan ke arah kemajuan. Dalam pengertian ini perubahan masyarakat diarahkan pada development (Susanto, 180). Karl Mannheim sebagaimana disitir oleh Susanto menjelaskan bahwa perubahan masyarakat adalah berkaitan dengan norma-normanya. Development adalah perkembangan yang tertuju pada kemajuan keadaan dan hidup anggota masyarakat, dimana kemajuan kehidupan ini akhirnya juga dinikmati oleh masyarakat. Dengan demikian maka perubahan masyarakat dijadikan sebagai peningkatan martabat manusia, sehingga hakekatnya perubahan masyarakat berkait erat dengan kemajuan masyarakat. Dilihat dari aspek perkembangan masyarakat tersebut maka terjadilah keseimbangan antara tuntutan ekonomi, politik, sosial dan hukum, keseimbangan antara hak dan kewajiban, serta konsensus antara prinsip-prinsip dalam masyarakat (Susanto: 185-186).
Khan (1981) memberi pengertian reformasi sebagai suatu usaha perubahan pokok dalam suatu sistem birokrasi yang bertujuan mengubah struktur, tingkah laku, dan keberadaan atau kebiasaan yang telah lama.
Sedangkan Quah (1976) mendefinisikan reformasi sebagai suatu proses untuk mengubah proses, prosedur birokrasi publik dan sikap serta tingkah laku birokrat untuk mencapai efektivitas birokrasi dan tujuan pembangunan nasional. Aktivitas reformasi sebagai padanan lain dari change, improvement, atau modernization.
Dari pengertian ini, maka reformasi ruang lingkupnya tidak hanya terbatas pada proses dan prosedur, tetapi juga mengaitkan perubahan pada tingkat struktur dan sikap tingkah laku (the ethics being). Arah yang akan dicapai reformasi antara lain adalah tercapainya pelayanan masyarakat secara efektif dan efisien.
Reformasi bertujuan mengoreksi dan membaharui terus-menerus arah pembangunan bangsa yang selama ini jauh menyimpang, kembali ke cita-cita proklamasi. Reformasi birokrasi penting dilakukan agar bangsa ini tidak termarginalisasi oleh arus globalisasi. Reformasi ini harus dilakukan oleh pejabat tertinggi, seperti presiden dalam suatu negara atau menteri/kepala lembaga pada suatu departemen dan kementerian negara/lembaga negara, sebagai motor penggerak utama.
Reformasi birokrasi di Indonesia belum berjalan dengan maksimal. Indikasinya adalah buruknya pelayanan publik dan masih maraknya perkara korupsi. Yang hangat-hangat dibicarakan akhir-akhir ini seperti tentang kasus makelar pajak. Aparat Direktorat Jenderal Pajak tergolong sebagai aparat paling banyak melakukan pelanggaran di internal Departemen Keuangan. Direktorat ini menjadi juara sebagai instansi terbanyak kena sanksi akibat pelanggaran disiplin dan integritas.
Berdasarkan catatan Departemen Keuangan pada periode 2006 - 2009 yang dipublikasikan di situs Depkeu, pegawai Ditjen Pajak menjuarai atau mendominasi pelanggaran dari 12 instansi di Depkeu. Dari total 1.961 pegawai Departemen Keuangan yang melanggar dan dikenai sanksi, lebih dari separoh atau 1.036 berasal dari Ditjen Pajak. Dari jumlah itu, 546 orang dikenai sanksi karena pelanggaran disiplin kehadiran dan 482 dikenai sanksi karena melanggar integritas.
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah No 30/1980, Depkeu telah mengenakan sanksi berat kepada para aparat yang melanggar integritas. Menurut Depkeu, selama empat tahun tersebut, sebanyak 417 orang telah dikenai sanksi berat. Sanksi itu berupa penurunan pangkat kepada 149 pegawai, pembebasan jabatan kepada 48 pegawai, pemberhentian dengan hormat kepada 36 pegawai dan sebanyak 184 orang dipecat secara tidak hormat.
Sanksi ini diterapkan oleh Depkeu sebagai bagian dari reformasi birokrasi. Bagi pegawai Depkeu tidak ada pilihan lain untuk menyesuaikan diri dan mengikuti gerak langkah reformasi atau mundur dari pegawai, demikian disebutkan dalam laporan Departemen Keuangan.
Adapun delapan langkah yang ditegaskan oleh Menkeu untuk mengawal reformasi birokrasi meliputi,
pertama, penyerahan daftar kekayaan dan pemeriksaan surat pemberitahuan (SPT) beberapa tahun terakhir dari jajaran pejabat sampai level eselon empat dan pelaksana di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) yang rawan berhubungan dengan wajib pajak (WP) dan melakukan pemeriksaan mendetail.
Kedua, melakukan pemeriksaan menyeluruh bidang pemeriksaan pajak. Beberapa yang dilakukannya terkait hal ini adalah Kementerian Keuangan dalam jangka pendek akan membebastugaskan seluruh jajaran yang bekerja di Unit Keberatan bersama Gayus Tambunan. Selain itu, kasus-kasus keberatan yang terjadi antara 2006-2009 akan diperiksa semuanya, begitu pula semua kasus kekalahan di Pengadilan Pajak akan diperlakukan hal yang serupa.
Ketiga, Kementerian akan meminta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk mengusut transaksi para aparat pajak, wajib pajak, dan hakim pajak yang berhubungan dengan kasus keberatan.
Keempat, melakukan kerja sama dengan Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial dalam perbaikan peradilan perpajakan. Kelima, Kementerian Keuangan akan meminta Komite Pengawas Perpajakan untuk memeriksa proses, kebijakan dan administrasi pajak dan bea cukai yang rawan korupsi.
Keenam, membentuk whistle blower dan membentuk mekanisme pengaduan yang mudah dan kredibel, sehingga pengaduan merasa aman dan berani, dan aduan ditangani dengan sungguh-sungguh.
Ketujuh, mengevaluasi unit Kepatuhan Internal dan Inspektorat Jenderal, agar makin mampu mendeteksi pelanggaran secara lebih dini.
Serta kedelapan, mempercepat pelaksanaan penilaian indikator kinerja individu, termasuk indikator integritas secara lebih detail dan tegas, agar efek pencegahan dapat terbangun.


2.2 Tujuan Reformasi Birokrasi
- Terciptanya good governance, yaitu tata pemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa
- Memperbaiki kinerja birokrasi agar lebih efektif dan efisien
- Terciptanya birokrasi yang profesional, netral, terbuka, demokratis, mandiri, serta memiliki integritas dan kompetensi dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya selaku abdi
masyarakat dan abdi negara
- Pemerintah yang bersih (clean government)
- Bebas KKN
- Meningkatkan kualitas pelayanan terhadap masyarakat

2.3 Empat Masalah, Tujuh kelemahan, dan Lima Prasyarat
Empat masalah, terdiri atas (1) berbagai keluhan masyarakat kurang direspons aparatur; (2) belum ada data awal yang pasti dan sama; (3) tolok ukur keberhasilan belum jelas; dan (4) belum ada analisis yang jelas mengapa pemberantasan korupsi sejak era Presiden Soekarno, Soeharto, Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati Soekarnoputri, sampai Susilo Bambang Yudhoyono belum menunjukkan tanda-tanda keberhasilan.

Tujuh kelemahan yang menonjol: (1) lemahnya kehendak pemerintah atau political will/government will; (2) belum ada kesamaan persepsi dan pemahaman tentang visi, misi, tujuan dan rencana tindak tidak jelas; (3) kurang memanfaatkan teknologi informasi (e-government, e-procurement, information technology) dalam pemberantasan KKN; (4) belum ada kesepakatan menerapkan SIN (single identification/identity number) tentang data kepegawaian, asuransi kesehatan, taspen, pajak, tanah, imigrasi, bea-cukai, dan yang terkait lainnya; (5) masih banyak duplikasi, pertentangan, dan ketidakwajaran peraturan perundang-undangan (ambivalen dan multi-interpreted); (6) kelemahan dalam criminal justice system (sistem penanggulangan kejahatan); penanggulangan kejahatan (criminal policy) belum efektif menggunakan media masa dan media elektronika, kurangnya partisipasi masyarakat, sanksi terlalu ringan dan tidak konsisten, dan criminal policy belum dituangkan secara jelas dalam bentuk represif (criminal justice system), preventif (prevention without punishment), dan pencegahan dini (detektif); dan (7) belum ada konsistensi yang didukung kesungguhan atau keseriusan pemerintah dalam pemberantasan KKN.

Lima prasyarat keberhasilan pemberantasan korupsi: (1) deregulasi peraturan perundang-undangan yang memberi peluang KKN dan ada kehendak yang sungguh-sungguh dan serius untuk memberantas korupsi (Inpres 5/2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi merupakan salah satu komitmen yang harus ditindaklanjuti dengan tindakan nyata). (2) sistem dan mekanisme pelayanan publik yang memanfaatkan teknologi informasi (TI):Â e-government, e-procurement, e-office, e-business. (3) penerapan dan pemanfaatan Single Identification/Identity Number (SIN) untuk setiap urusan masyarakat yang diharapkan mampu mengurangi peluang penyalahgunaan. (4) peraturan perundang-undangan yang saling menunjang dan memperkuat; dan (5) penataan atau pembaharuan Criminal Justice System (CJS) yang memadai.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Fenomena birokrasi selalu ada bersama kita dalam kehidupan kita sehari-hari dan setiap orang seringkali mengeluhkan cara berfungsinya birokrasi sehingga pada akhirnya orang akan beranggapan bahwa birokrasi tidak ada manfaatnya karena banyak disalahgunakan oleh pejabat pemerintah (birokratisme) yang merugikan masyarakat. Oleh karena itu diperlukan adanya reformasi birokrasi
Reformasi adalah mengubah atau membuat sesuatu menjadi lebih baik daripada yang sudah ada. Reformasi bertujuan mengoreksi dan membaharui terus-menerus arah pembangunan bangsa yang selama ini jauh menyimpang, kembali ke cita-cita proklamasi. Reformasi birokrasi penting dilakukan agar bangsa ini tidak termarginalisasi oleh arus globalisasi. Reformasi ini harus dilakukan oleh pejabat tertinggi, seperti presiden dalam suatu negara atau menteri/kepala lembaga pada suatu departemen dan kementerian negara/lembaga negara, sebagai motor penggerak utama.
Tujuan reformasi birokrasi: Memperbaiki kinerja birokrasi, Terciptanya good governance, yaitu tata pemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa, Pemerintah yang bersih (clean government), bebas KKN, meningkatkan kualitas pelayanan terhadap masyarakat

DAFTAR PUSTAKA

- Benveniste, Guy.1997. Birokrasi.Jakarta: PT Raja GrafindoPersada
- Pramusinto Agus dan Erwan Agus Purwanto. 2009. Reformasi Birokrasi, Kepemimpinan dan Pelayanan Publik
- Susanto, Heri, “Ditjen Pajak Juara Kena Sanksi Pelanggaran”, diakses dari situs http://heri.susanto@vivanews.com
- Drs. Taufiq Effendi, MBA, “Agenda Strategis Reformasi Birokrasi Menuju Good Governance”,
- Prof.Dr.Mostopadidjaja AR. 2003. “Reformasi Birokrasi Sebagai syarat Pemberantasan KKN”,

MAKALAH SEJARAH POLITIK

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masa silam adalah mengandung pengalaman, masa kini merupakan kenyataan, dan masa depan adalah harapan. Masa silam atau yang disebut dengan sejarah adalah sangat penting untuk dipelajari, dengan mempelajarinya kita mempunyai bekal untuk masa kini dan juga untuk masa depan. Sejarah bisa terjadi lagi pada masa kini dan mungkin juga pada masa depan, maka dengan mempelajarinya berguna agar kita dapat menghindari kesalahan-kesalahan yang pernah terjadi pada masa lalu,

Salah satu sejarah pada masa awal kemerdekaan Negara Indonesia yaitu tentang perdebatan tentang konsep Negara, salah satu nama yang memiliki sumbangsih atas konsep Negara yaitu Muhammad Natsir, seorang tokoh ulama yang memiliki jasa dalam berjuang untuk merebut kemerdekaan. Dalam bukunya yang berjudul “Agama dan Negara”, dia memaparkan Islam sebagai agama mayoritas Negara Indonesia, dia menghendaki Islam sebagai dasar Negara.

Membicarakan mengenai Negara tentunya kita harus tahu bagaimana persyaratan-persyaratan dari Negara, suatu Negara tentunya harus memiliki wilayah, rakyat, pemerintah, kedaulatan, dan Konstitusi atau sumber hukum dan kekuasaan lain yang tak tertulis. Negara adalah pengorganisasian masyarakat yang mempunyai rakyat dalam suatu wilayah tersebut, dengan sejumlah orang yang menerima keberadaan organisasi ini. Dengan adanya negara, harapan masyarakat untuk hidup aman, tertib, adil, makmur dan sejahtera akan terwujud. Sebab fungsi negara adalah untuk menciptakan hal-hal tersebut.


Kemudian mengenai konsep Negara Muhammad Natsir yaitu Negara Islam, hal itu disebabkan oleh latar belakang seorang Muhammad Natsir yang seorang ulama. Dia adalah ketua umum Masyumi (Partai Islam). Al Qur’an sebagai kitab suci agama Islam merupakan dasar pemikiran dari Muhammad Natsir.

Tentunya sangat menarik membicarakan tentang konsep Negara dari Muhammad Natsir ini, ia menginginkan Islam sebagai suatu dasar Negara Indonesia. Menurut Natsir bahwa ajaran Islam mempunyai sifat–sifat sempurna bagi kehidupan negara dan masyarakat dan dapat menjamin keragaman hidup antar berbagai golongan dalam negara dengan penuh toleransi. Agama minoritas tidak perlu takut dengan agama Islam.

1.2 Rumusan Masalah

Untuk mempermudah dalam penyusunan makalah ini, maka penulisan dibatasi sebagai berikut :

1.2.1 Bagaimana konsep negara Islam dari Muhammad Natsir ?

1.2.2 Bagaimana Perkembangan Pemikiran Kenegaraan Mohammad

Natsir dari Masa ke Masa?

1.2.3 Apa Implikasi Pemikiran Kenegaraan Mohammad Natsir?

1.2.4 Apa Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemikiran Kenegaraan Moh.

Natsir?

1.3 Tujuan Penulisan

Ada beberapa alasan mengapa tulisan ini dibuat penulis, yaitu :

1.3.1 Memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Politik dan

Pemerintahan Indonesia

1.3.2 Menjelaskan Konsep Negara Islam Muhammad Natsir

1.3.3 Menerangkan perkembangan pemikiran kenegaraan

Muhammad Natsir

1.3.4 Memaparkan faktor-faktor yang mempengaruhi

pemikiran kenegaraan Muhammad Natsir


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Konsep Negara Islam Menurut Muhammad Natsir

Muhammad Natsir adalah seorang tokoh Islam yang lahir di Alahan Panjang, Solok, Sumatera Barat, pada tanggal 17 Juli 1908. Sebagai laki-laki Minangkabau dia bergelar Datuk Sinaro Panjang. Beliau adalah seorang ulama, politikus dan cendekiawan muslim yang terkenal di zamannya. M. Natsir pernah dipercaya oleh Presiden Soekarno untuk memimpin kabinet, beliau merupakan Ketua Umum Masyumi (Partai Islam). Natsir telah berjasa menyatukan Negara Republik Indonesia dari RIS menjadi NKRI. Atas peran dan jasanya itu, Natsir menjadi Perdana Menteri pertama dalam sistem Demokrasi Parlementer.

Bagaimana pandangan Natsir tentang agama dan Negara? Natsir di dalam berbagai karya seperti bukunya yang berjudul Agama dan Negara, Natsir telah mencoba membahas masalah penting ini. Kemudian dalam sidang Majelis Konstituante pada tahun 1957, Natsir mempertegas kembali dan menjelaskan lebih lanjut pendiriannya tentang hubungan Islam dan negara di Indonesia dimana umat Islam merupakan pemeluk mayoritas. Dalam pidatonya berjudul Islam sebagai dasar Negara, Natsir berdalil bahwa untuk dasar negara, Indonesia hanya mempunyai dua pilihan, yaitu sekularisme (la diniyyah) dan paham agama (dini). Pancasila menurut pendapatnya bercorak la diniyyah karena itu ia sekuler tidak mau mengakui wahyu sebagai sumbernya. Pancasila sebagai hasil penggalian masyarakat. Mengenai Negara sebagai institusi, Natsir hanyalah mengikuti pendapat–pendapat tentang persyaratan negara modern. Jadi negara harus memiliki :

1. Wilayah

2. Rakyat

3. Pemerintah

4. Kedaulatan

5. Konstitusi atau sumber hukum dan kekuasaan lain yang tak tertulis.

Bila masyarakat dibandingkan negara, Natsir mengikuti Ibnu Khaldun yaitu bahwa di antara keduanya seperti hubungan antara benda dan bentuknya, yang satu pada yang lain. Oleh karena itu , kata Natsir negara itu harus mempunyai akar yang langsung tertanam dalam masyarakat. Sesuai dengan garis argumen yang diajukannya, Natsir mengajak orang untuk melihat bahwa Islam sebagai agama anutan mayoritas rakyat Indonesia cukup punya akar dalam masyarakat dan karena itu punya alasan yang kuat untuk dijadikan dasar negara. Alasan lain mengapa partai-partai Islam, mengusulkan Islam sebagai dasar negara menurut Natsir ialah bahwa ajaran Islam mempunyai sifat–sifat sempurna bagi kehidupan negara dan masyarakat dan dapat menjamin keragaman hidup antar berbagai golongan dalam negara dengan penuh toleransi. Ini punya implikasi bahwa kelompok agama minoritas tidak punya alasan untuk takut pada Islam sebagai dasar negara.

Mengupas masalah hubungan Islam dan negara, Natsir mendasarkan uraiannya kepada ayat AL –Qur’an : “Dan kami tidak jadikan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah Aku (Al-Hujurat 56). Dari ayat ini Natsir mengembangkan teorinya dengan mengatakan : “Seorang Islam hidup di atas dunia ini dengan cita-cita kehidupan supaya menjadi hamba Allah dengan artian yang sepenuhnya, yakni hamba Allah yang mencapai kejayaan di dunia dan kemenangan di akhirat”. Dunia dan akhirat ini sama sekali bagi kaum Muslim tidak mungkin dipisahkan dari ideologi mereka. Selanjutkan didalilkan bahwa negara sebagai kekuatan dunia merupakan suatu yang mutlak bagi Al-Qur’an, sebab hanya dengan itulah aturan-aturan dan ajaran-ajarannya dapat dilaksanakan dalam kehidupan nyata. Bagi pemimpin modernis ini. Negara adalah alat bagi Islam untuk melaksanakan hukum-hukum Allah demi keselamatn dan kesentosaan manusia. Sebagi alat adanya negar bersifat mutlak, karena natsir membela prinsip persatuan agama dan negara. Inilah alasan Natsir untuk membuat sebuah konsep Negara Islam.

Kemudian mengenai gelar kepala negara, apakah harus memakai nama khalifah sebagaimana yang diwajibkan oleh teori klasik dalam literatur Islam? Dalam hal ini Natsir melampaui seorang Rasyid Ridha (ulama klasik Islam) yang masih mewajibkan keturunan Quraisy untuk menjadi khalifah. Mengenai gelar seorang kepala negara bagi Natsir, Khalifah, Amirul Mukminin atau Presiden tidak menjadi persoalan. Semua gelar bias saja dipakai asalkan sifat-sifat, hak dan kewajibannya adalah sebagaimana yang telah diatur dan dikehendaki Islam. Dalam menangani dan mengatur masalah-masalah sosial politik umat, diantara prinsip penting ysng harus diikuti dan dihormati menurut Natsir adalah prinsip syura. Tentang bagaimana mengembangkan dan menyesuaikan mekanisme syura, semuanya tergantung pada ijtihad umat Islam, karena Islam tidak menetapkannya secara kaku dan pasti. Natsir adalah seorang demkrat yang gigih sekalipun tidak selalu senang dengan praktek-praktek sistem demokrasi barat. Menurut Natsir demokrasi bagus, akan tetapi sistem kenegaraan Islam tidak menggantungkan semua urusan kepada kerahiman instelling-instelling demokrasi kata Natsir. Beliau berdalil bahwa Islam tampaknya adalah sintesa antara demokrasi dan otokrasi atau sistem politik diktatorial.

Teori Natsir tentang sintesa di atas berasal dari interpretasinya tentang konsep kedaulatan politik suatu negara. Pendapatnya hampir sejalan dengan seorang tokoh Islam yang nempunyai konsep Negara Islam juga yaitu Abu A’la Al-Maududi dalam Konsep Kedaulatan Tuhan (The Soveregnity of God). Dalam pidatonya di depan Majelis Konstiuante dengan tegas Natsir mengemukakan adapun state philosophy atau dasar negara yang akan dirumuskan apabila tidak berpusat dan mendapat nuckleus di dalam Kedaulatan Tuhan yang Mutlak, perumusan itu akan merupakan rangkaian butir-butir pasir yang kering yang tidak mengandung kekuatan apapun juga. Namun Natsir tidak pernah berpendapat bahwa demokrasi modern adalah sesuatu yang bersifat syirik, sebagimana diteorikan Al-Maududi pada 1940. Mengenai hubungan demokrasi dengan umat Islam, Natsir pernah mengatakan sejauh menyangkut umat Islam, demokrasi adalah hal yang pertama sebab Islam hanyalah mungkin berhasil dalam suatu sistem demokratis.

Konsep sebuah Negara Islam bagi M. Natsir adalah suatu cita-sita, “something yet to be achieved and still very far removed from the reality of the present”. Tidak saja di Indonesia tapi juga di seluruh negeri Islam. Pemikiran Mohammad Natsir tentang Negara Islam menjadi kontroversial karena hasil interaksi Mohammad Natsir dengan lingkungan sosio-historis yang melingkupi kehidupannya. Sementara itu dalam konsep Negara Islam, Natsir berpendapat bahwa suatu negara akan bersifat Islam bukan karena secara formal disebut Negara Islam ataupun berdasarkan Islam, tapi negara disusun sesuai dengan ajaran-ajaran Islam baik dalam teori maupun praktiknya sehingga bagi Natsir negara berfungsi sebagai alat atau perkakas bagi berlakunya hukum Islam.

Dengan demikian Islam menjadi tujuan dan negara adalah alat untuk mewujudkan ajaran Islam. Namun pandangan Natsir ini ternyata sangat kontradiktif dengan sikap Natsir yang bersikeras menjadikan Islam sebagai dasar negara. Natsir berkeyakinan, negara sebagai kekuatan eksekutif mempunyai kekuatan dan kekuasaan untuk menjalankan hukum-hukum dan menjamin terbentuknya masyarakat yang adil dan makmur sesuai dengan yang dicita-citakan Islam. Di sini negara berfungsi sebagai alat untuk menerapkan hukum-hukum yang telah ada. Tanpa adanya negara sulit diharapkan adanya ketaatan pada hukum-hukum itu. Dengan demikian pendekatan Natsir terhadap pelaksanaan syariat atau hukum-hukum Islam dalam masyarakat menekankan pada pendekatan legal formal. Artinya ia menganggap perlu adanya kekuasaan pemaksa yang sah dan diakui keberadaannya yang diperlukan untuk, dalam batas-batas tertentu, memaksa individu untuk patuh dan taat pada hukum-hukum yang telah ditetapkan.

Perumusan konsep negara merupakan salah satu isu sentral dalam sejarah pemikiran kenegaraan, termasuk dalam pemikiran Islam di Indonesia. Pemikiran kenegaraan Islam sebenarnya merefleksikan upaya pencairan fondasi intelektual bagi fungsi dan peran negara atau pemerintahan sebagai faktor instrumental untuk merealisasikan ajaran Islam. Pemikiran kenegaraan Islam, dalam hal ini, merupakan ijtihad politik dalam rangka menemukan nilai-nilai Islam dalam konteks sistem dan proses politik yang sedang berlangsung (Syamsuddin, 1993: 4, Cropsy, 1987: 17).

Diskusi panjang tentang hubungan Islam dan negara di Indonesia muncul seiring dengan timbulnya gerakan pembaruan Islam di Indonesia, yaitu pada awal abad ke-20. Pada masa perjuangan kemerdekaan tersebut, sejumlah intelektual muslim, tak terkecuali Mohammad Natsir (1908-1993), dari berbagai organisasi sosial keagamaan dan politik seperti Sarekat Islam, Persatuan Muslim Indonesia (Permi), Persatuan Islam (Persis), dan lain-lain telah mulai melontarkan pemikiran-pemikiran politiknya berkenaan dengan hubungan antara Islam dan kebangsaan.

Pandangan tentang bangsa dari sejumlah intelektual Muslim tersebut akhirnya meningkat pada persoalan negara. Hal ini karena telah muncul kesadaran dari kalangan intelektual muslim di mana tujuan utama dari pergerakan kemerdekaan ialah mendirikan negara yang merdeka dari segala macam penjajahan.

Pandangan Natsir tentang hubungan Islam dan negara adalah bahwa agama bukanlah semata-mata ritual peribadatan dalam istilah sehari-hari seperti salat dan puasa, akan tetapi agama meliputi semua kaedah-kaedah, batas-batas dalam muamalah dan hubungan social kemasyarakatan. Oleh karenanya, menurutnya, untuk menjaga supaya aturan-aturan dan patokan-patokan itu dapat berlaku dan berjalan sebagaimana mestinya, perlu dan tidak boleh tidak, harus ada kekuatan dalam pergaulan hidup berupa kekuasaan dalam negara, sebagaimana telah diperingatkan oleh Rasulullah saw kepada kaum muslim bahwa sesungguhnya Allahlah pemegang dengan kekuasaan penguasa (Natsir, 1973: 436-437).

Dari pernyataan di atas, nampaknya Natsir ingin menegaskan bahwa Islam dan negara itu berhubungan secara integral, bahkan simbiosa, yaitu berhubungan secara resiprokal dan saling memerlukan. Dalam hal ini, agama memerlukan negara, karena dengan negara agama dapat berkembang. Sebaliknya negara memerlukan agama, karena dengan agama negara dapat berkembang dalam bidang etika dan moral (Syamsuddin, 1993: 6). Hal ini karena dalam pemahaman Natsir bahwa Islam merupakan ajaran yang lengkap. Ajaran Islam tidak mengandung persoalan ibadah saja, tetapi juga mengandung aspek lain seperti bidang hukum tentang kenegaraan, maka pendirian sebuah negara adalah suatu kemestian Sebagaimana pendapat H.A.R. Gibb, bagi Natsir, Islam itu bukan sekedar agama, tetapi juga merupakan peradaban yang komplit. Untuk itu dalam Islam tidak relevan adanya pemisahan agama dari negara karena nilai-nilai universal Islam itu tidak dapat dipisahkan dari ide pembentukan sebuah negara (Mahendra, 1995: 136).

Pandangan Natsir tentang kemestian pendirian sebuah negara ini memiliki kesamaan dengan pemikiran politik Ibn Taimiyyah (w. 1328 M) yang mengatakan memimpin dan mengendalikan rakyat adalah kewajiban asasi dalam agama. Bahkan pelaksanaan agama tidak mungkin terealisasi kecuali dengan adanya kepemimpinan (Taimiyyah, 1988: 138).

Terkandungnya hukum-hukum kenegaraan dalam ajaran Islam, menurut Natsir, adalah suatu bukti bahwa Islam tidak mengenal pemisahan antara agama dan negara. Pandangan Natsir ini didasarkan pada Alquran, al-Dzariyyat: 56 (Natsir, 1973: 436-437).

Dalam kasus Turki, kata Natsir, Turki bukanlah pemerintahan Islam, karena di Turki tidak ada lagi integrasi antara agama dengan negara. Karenanya, negara hanya merupakan instrumen, bukan tujuan, maka tidak perlu ada perintah Tuhan untuk mendirikan Negara. Yang perlu adalah pedoman untuk mengatur negara supaya negara itu menjadi kuat dan subur dan menjadi media yang sebaik-baiknya untuk mencapai tujuan hidup manusia yang terhimpun dalam negara itu; baik untuk keselamatan maupun kesentosaan individu dan masyarakat (Natsir, 1973: 443).

Begitu pula dengan penyebutan bagi kepala negara, karena negara itu hanya merupakan instrumen, bukan tujuan, menurut Natsir, seorang kepala negara itu tidak perlu bergelar kholifah, akan tetapi bisa juga dipergunakan nama lain, seperti amir al-mu’minin, presiden atau yang lainnya. Yang penting adalah bahwa sifat-sifat, hak dan kewajiban mereka harus sebagaimana dikehendaki oleh Islam. Dengan demikian, yang menjadi syarat bagi kepala negara itu adalah agamanya, sifat dan tabiatnya, akhlak dan kecakapannya untuk memegang kekuasaan yang diberikan kepadanya dan bukan dilihat dari asal bangsa dan keturunannya ataupun semata-mata inteleknya saja (Natsir, 1973 : 443).

Bagi kepala negara terpilih, tugas utama yang diembannya, menurut Natsir adalah melakukan musyawarah dengan orang-orang yang dianggap patut dan pantas atau layak untuk memecahkan persoalan-persoalan umat. Sementara dalam hal-hal yang sudah ada ketentuan hukumnya, tidak perlu dimusyawarahkan kembali seperti masalah alkohol, zina, perkawinan, waris, zakat dan fitrah, adalah tanggung jawab penguasa. Adapun dalam persoalan pengambilan keputusan terhadap sesuatu masalah, itu dapat diserahkan kepada perkembangan sesuatu masyarakat, apakah seperti yang dipraktekkan oleh Abu bakar atau berdasar pada pemilihan umum secara lazim yang berlaku sekarang; yang penting musyawarah itu dilakukan (Natsir, 1973: 443).

Dari pandangan Natsir di atas, kelihatannya Natsir tidak begitu menekankan pada label dan bentuk dalam sebuah negara, melainkan lebih menekan pada isi. Dengan demikian, pemikiran Natsir tentang negara masa perjuangan kemerdekaan ini cenderung subsantivistik. Akan tetapi kenyataannya, pada masa demokrasi parlementer (1950-1959), terutama saat berlangsungnya sidang konstituante, pemikiran kenegaraan Natsir dapat dikatakan cedrung formalistik. Hal ini dilihat dari pandangannya tentang signifikansi Islam untuk dijadikan dasar negara bagi negara republik Indonesia yang baru merdeka.

Signifikansi Islam untuk dijadikan dasar negara, menurut Natsir, dilandasi atas beberapa hal. Pertama, Islam itu adalah agama yang lengkap dan sempurna. Namun begitu, kesempurnaan ajaran Islam itu terutama doktrin sosial politiknya hanya memberikan pedoman pedoman yang bersifat global dan tidak dalam bentuk rincian-rincian (Natsir, 1957: 377). Kedua, secara sosiologis, di samping Islam merupakan agama yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia, Islam juga merupakan agama yang menghargai dan menghormati agama lain. Sebagaimana dinyatakan oleh Natsir sendiri bahwa: “Bukan semata-mata lantaran umat Islam adalah golongan yang terbanyak di kalangan rakyat Indonesia seluruhnja, kami mengajukan Islam sebagai Dasar Negara kita, akan tetapi berdasarkan kepada kejakinan kami, bahwa adjaran-adjaran Islam jang memiliki ketatanegaraan dan masjarakat hidup itu adalah mempunjai sifat-sifat yang sempurna bagi kehidupan negara dan masyarakat dan dapat mendjamin hidup keragaman atas saling harga menghargai antara pelbagai golongan di dalam negara: kalaupun besar tidak akan melanda, kalaupun tinggi, malah akan melindungi” (Natsir,1959: 166).

Dalam memperkuat argumentasinya, Natsir mengikuti pendapat Ibn Khaldun yang membandingkan masyarakat dengan Negara; yaitu bahwa di antara keduanya seperti hubungan antara benda dengan bentuknya: yang satu bergantung kepada yang lain. Maka dari itu, kata Natsir, negara itu harus mempunyai akar yang langsung tertanam dalam masyarakat (Natsir, 1957: 7). Di samping itu, masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim itu memerlukan suatu landasan yang kokoh bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dengan dijadikannya Islam sebagai dasar negara, menurut Natsir, diharapkan terciptanya baldatun tayyibatun wa robbun ghafur (Natsir, 1958: 22, 36).

Oleh karena itu, Natsir dengan tegas mengatakan bahwa: Pancasila itu netral dan sekuler. Kedudukan Pancasila sebagai dasar negara sangat kabur dan tidak bermakna apa-apa bagi umat Islam yang telah memiliki suatu ideologi yang pasti, jelas dan sempurna. Karenanya, Natsir mengidealisasikan adanya negara yang berdasar Islam (Natsir, 1970: 218-219).

2.2 Perkembangan Pemikiran Kenegaraan Mohammad Natsir dari Masa ke Masa

Perhatian bangsa Indonesia selama masa 1945-1950 lebih banyak tercurah kepada usaha-usaha mempertahankan kemerdekaan dalam bentuk perjuangan fisik (Noer, 1987: 197). Seperti yang diucapkan oleh kaum intelektual Islam, termasuk di dalamnya Natsir, bahwa pada masa revolusi bukanlah saat yang tepat untuk mendesak terlaksananya cita-cita Islami. Bagi mereka, mempertahankan kemerdekaan harus didahulukan (Nasution, 1965: 76)

Spirit perjuangan pada umumnya diliputi oleh spirit Islam, seperti dikumandangkannya seruan jihad fi sabilillah (Noer, 1988: 10). Tidak hanya dalam perjuangan fisik saja yang terwarnai oleh spirit Islam akan tetapi juga dalam bidang diplomasi dan perjuangan darurat. Seperti Natsir yang menjadi penasehat delegasi dalam diplomasi tahun 1949 antara Mohammad Roem (delegasi Indonesia) dan Van Royen (delegasi Belanda) (Noer, 1988: 10). Meskipun Natsir sendiri, kata Yusril, (Mahendra, 1995: 123), keberatan dengan negosiasi yang dilakukan oleh kedua delegasi tersebut. Namun boleh dikatakan, diplomasi itu membuahkan hasil dengan disepakatinya penyerahan kedaulatan dari pemerintah kolonial Belanda kepada pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1949 (Feithm, 1964: 13).

Keberatan Natsir dengan diadakannya diplomasi itu nampaknya dilatarbelakangi sikap kekhawatiran jika diplomasi itu membuahkan hasil yang memberatkan bagi bangsa Indonesia. Mungkin juga ketakutan bila Indonesia akan tetap dianeksasi Belanda. Dengan demikian, pada masa ini, disebut dengan masa revolusi fisik, dan pemikiran politik intelektual Islam, termasuk Natsir, cenderung realistik, karena hanya tercurahkan kepada persoalan membela kemerdekaan dan kebebasan menghadapi musuh bersama dari luar. Karena bagaimanapun, dalam pandangan intelektual Islam, perjuangan kemerdekaan Indonesia itu sekaligus merupakan perjuangan untuk kemerdekaan Islam. Dengan kata lain, perjuangan kemerdekaan itu bukan hanya untuk negeri tetapi juga untuk eksistensi agama Islam dalam masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim.

Pasca kemerdekaan sebelum sidang konstituante, Natsir terkesan gigih membela dasar negara Pancacila dengan mengatakan bahwa pancasila tidak bertentangan dengan ajaran Islam, seperti yang disebutkan di atas. Akan tetapi sebaliknya, dalam sidang konstituante, Natsir seakan berbalik. Natsir bukan lagi sebagai sosok pembela Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia. Dalam sidang tersebut, Natsir merupakan salah seorang wakil Islam yang paling vokal dalam menggolkan Islam sebagai dasar Negara. Seperti apa yang diucapkannya dalam sidang konstituante tersebut bahwa Pancasila itu pure concept yang tidak memiliki substansi. Bagian Pancasila itu bersifat sekular dan netral, karena tidak mengakui wahyu ilahi sebagai sumber. (Risalah Perundingan, 1957: 276). Jadi, jika kenetralannya lenyap, maka raison de etre bagi fungsinya sebagai pemersatu akan hilang. Untuk itu Pancasila tidak dapat dijadikan sebagai falsafah negara. Hal ini karena Pancasila sangat kabur dan tidak bermakna apa-apa bagi umat Islam yang telah memiliki suatu ideologi yang pasti, jelas dan sempurna. Natsir, dalam hal ini, mengingatkan umat Islam bahwa pindah dari Islam ke Pancasila adalah bagian melompat dari bumi ke tempat berpijak ke suatu ruang hampa udara (Natsir, 1970: 218-219)

Dalam Islam dan Tata Negara, ajaran Sejarah dan Pemikiran, dijelaskan bahwa perubahan pendirian Natsir, menurut pengamat politik, disebabkan oleh pidato Soekarno pada rapat Gerakan Pembela Pancasila di Jakarta pada tanggal 17 Juni 1954 yang memberikan kesan bahwa sila Ketuhanan yang maha Esa itu merupakan ciptaan manusia. Namun Munawir Sjadzali sendiri, dalam hal ini, tidak mengetahui tentang faktor-faktor apa yang mendorong sampai terjadinya perubahan pendirian dalam sikap Natsir tersebut (Sjadjali, 1990: 196). Meski demikian, diduga kuat bahwa perubahan pendirian dalam sikap Natsir dalam sidang konstituante itu disebabkan, paling tidak oleh dua hal. Pertama, dorongan sebagai ketua Masyumi untuk merealisasikan manifesto politik partai; dan kedua, pancasila telah menjadi monopoli golongan tertentu, kelompok sekuler.

Munculnya respon dari kalangan intelektual, termasuk Natsir, yang komprontatif dengan pemerintah berkuasa di kala itu adalah dengan terjadinya perbedaan yang berkepanjangan dalam sidang konstituante yang berjalan selama kurang lebih dari dua setengah tahun. Pertentangan terjadi antara kelompok intelektual Islam yang menghendaki labelitas Islam versus kelompok intelektual sekunder. Karena antara kedua kalangan terebut tidak ada yang mau melepaskan pendiriannya, maka atas desakan tentara, Presiden Soekarno membubarkan Majelis itu pada tanggal 5 Juli 1959, dan mendekritkan berlakunya kembali UUD 45 (Maarif, 1985: 90). Masa ini kemudian dikenal dengan masa demokrasi terpimpin.

Pada masa itu, menurut Deliar Noer, demokrasi Indonesia yang telah berjalan begitu baik, bukan saja menurun, tetapi hampir saja berubah menjadi diktator. Setidak-tidaknya, masa ini mulai berjangkit dan berkembangnya suatu pemerintahan otokrasi (Noer, 1987: 389), dimana hak memerintah berada di tangan satu orang. Ini terbukti dengan pimpinan pemerintah dan pimpinan revolusi dipegang oleh suatu orang, yaitu Presiden Soekarno.

Seperti diketahui, 43 hari setelah dekrit, Presiden Soekarno mengucapkan pidato hari Proklamasi 17 Agustus 1959 yang diberi judul Penanaman Kembali Revolusi kita. Dalam perkembangannya pidato tersebut ditetapkan sebagai GBHN dan diberi nama Manifesto Politik Republik Indonesia (Manipol). Pemikiran ini kemudian diringkas dalam slogan Manipol Usdek (Undang-Undang Dasar 1945, Sosialistic ala Indonesia, Demokrasi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia), dan menjadi landasan demokrasi terpimpin. Perkembangannya, 1960, Presiden Soekarno melengkapi ideologi Indonesia dengan slogan Nasakom, doktrin kesatuan tiga unsur, yaitu nasionalis, agama dan komunis. Jadi, gagasan Soekarno menjadi lengkap, yaitu Manipol Usdek dan Slogan Nasakom dan dipaksakan untuk diaplikasikan oleh setiap institusi, baik institusi pendidikan maupun institusi pemerintah, maupun lembaga kemasyarakatan.

Terhadap indoktrinasi Soekarno ini, kelompok intelektual modernis sangat menentang dan menolaknya. Bahkan, Natsir sebagai tokoh intelektual modernis, membuktikan ketidaksetujuannya terhadap kediktatoran Soekarno yang direfleksikan dalam bentuk dukungannya terhadap pembrontakan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (Ricklefs, 1981: 250).

2.3 Implikasi Pemikiran Kenegaraan Mohammad Natsir

Telah diuraikan dalam paparan di atas, bahwa pemikiran politik idealistik yang didengungkan oleh para intelektual Islam modernis pada masa demokrasi terpimpin itu bertujuan untuk mengembalikan kedudukan pemerintah yang dipegang oleh Soekarno dengan Manipol Usdek dan Nasakomnya yang telah menyimpang dari ajaran Islam. Namun, sayangnya, sikap korektif terhadap pemerintahan otokrasi dan diktator Soekarno yang dilancarkan oleh sebagian intelektual Islam modernis berakhir dalam penjara, seperti Natsir dan kawan-kawan. Bahkan partai Masyumi yang dipimpin Natsir pun ikut dibubarkan (Fieth, 1964: 138-139). Pembubaran Partai Masyumi terjadi dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 200/1960 yang diumumkan pada tanggal 17 Agustus 1960 dan pada tanggal 13 September 1960, Pimpinan Partai Masyumi menyatakan partainya bubar untuk memenuhi ketentuan-ketentuan dalam keputusan presiden (Ma'arif, 1985: 75).

Sebagaimana diilustrasikan oleh Deliar Noer bahwa masa demokrasi terpimpin sebagai masa yang mirip dengan peperangan, tidak merefleksikan nilai-nilai demokrasi yang dikandungnya, di mana orang berbeda pendapat dianggap sebagai musuh, dan oleh karena itu harus dibasmi (Noer, 1983: 46).

Dengan begitu, implikasi dari pemikiran politik yang idealistik dalam pemerintahan yang tidak mengindahkan demokrasi yang sesungguhnya dapat dicontohnkan dengan tersingkirnya para intelektual Islam modernis dari panggung politik praktis. Karena dalam suatu pemerintahan yang tidak menghargai dan menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan kritik yang konstruktif dalam perjalanan sebuah pemerintahan, orang-orang kritis seperti Natsir dan kawan-kawannya dianggap sebagai penghalang bagi teraplikasinya program-program pemerintahan.

2.4 Faktor-faktor Mempengaruhi Pemikiran Kenegaraan Moh. Natsir

Kecendrungan pemikiran politik intelektual Islam Indonesia, seperti Natsir, pada kurun waktu 1945 sampai tahun 1965 pada hakekatnya dipengaruhi oleh beberapa hal. Pertama, kondisi sosial politik Indonesia selama dua dasa warsa (1945-1965) tersebut mengalami tiga masa, yaitu revolusi fisik (1945-1950), masa demokrasi parlementer (1950-1959) dan masa demokrasi liberal (1959-1965). Kedua, pemahaman dan interprestasi intelektual Islam, termasuk Natsir, terhadap ajaran Islam yang diyakininya bahwa Islam adalah ajaran yang komplit dan sempurna, sehingga segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan manusia itu dapat dilihat hukumannya dalam al-Quran dan hadits.

Ketiga, pemikiran politik Natsir di samping terpengaruh pemikiran politik intelektual muslim masa klasik dengan karya-karya monumentalnya seperti al-Mawardi dengan al-Ahkam al-Sulthaniyyah, juga terpengaruh oleh pemikiran politik intelektual muslim modern seperti al-Maududi dan al-Afgani. Keempat, trend pemikiran politik Barat yang sedang merebak di dunia Islam sebagai akibat kontak dengan peradaban Barat dalam bentuk imperialisme Barat di negara-negara yang mayoritas penduduknya muslim, tak terkecuali Indonesia yang pernah dijajah oleh kolonial Belanda selama kurang lebih 350 tahun seperti terma-terma demokrasi, dewan perwakilan rakyat, republik, nasionalisme, dan lain-lainnya. Konsekuensi dari pengenalan terhadap terma-terma politik Barat tersebut, para intelektual Indonesia baik dari kalangan modernis maupun tradisionalis hampir tidak dapat ditemukan pemikiran politiknya tentang pendirian sistem monarki dengan didasarkan ikatan agama, melainkan mereka menghendaki suatu negara republik yang didasarkan pada rasionalisme.

Kelima, visi dan tujuan organisasi keagamaan dan politik yang digeluti oleh para intelektual Islam telah mempengaruhi arah pemikiran dan sikap atau perilaku politik mereka dalam mengaktualisasikan dan mengartikulasikan politiknya. Natsir sebagai salah satu intelektual Islam modernis terpengaruh oleh visi dan tujuan Masyumi.


BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari uraian tentang pemikiran kenegaraan Mohammad Natsir, tampak bahwa pemikiran Mohammad Natsir dengan ciri khas relegiusitasnya akan tetapi tidak kalah dengan dengan pemikiran intelektual sekular. Hal itu disebabkan karena Natsir secara informal melakukan dialog edukatif yang intensif tentang masalah-masalah agama, dan selain itu, ia juga belajar di sekolah-sekolah yang didirikan oleh Belanda, yang tentunya syarat dengan gagasan modern tentang negara, seperti demokrasi, nasionalisme, republik. Keberhasilan Natsir dari satu sisi adalah berhasil merekonsiliasikan pemikiran modern dengan pesan-pesan nash al-Quran maupun hadits. Selain itu, dari waktu ke waktu, ia memiliki karakteristik, kecenderungan dan visi tersendiri, disesuaikan dengan setting sosiopolitik yang ada sehingga munculnya pemikiran Natsir merupakan respon atau jawaban terhadap peroblema yang muncul.

Hubungan Islam dan negara dalam pandangan Natsir adalah hubungan yang integral dan simbiotik, tidak ada dikotomik yang bermuara kepada sekularisasi. Baginya, agama Islam adalah agama universal yang menata seluruh mekanisme kehidupan, termasuk masalah negara.

Sementara mengenai sistem pemerintahan menurut Natsir, bahwa di dalam Islam tidak ada uraian yang spesifik mengenai mekanismenya, yang ada hanya prinsip-prinsip saja. Oleh karenanya, sebagai produk ijtihad politiknya, ia mengusulkan sistem pemerintahan parlementer.

Tentang kepala negara, menurut Natsir tidak ada penyebutan yang spesifik, dan tidak harus terpaku pada istilah Islam klasik, yaitu khalifah. Baginya kepala Negara bisa khalifah, Amirulmu’minin, atau presiden. Yang paling penting, seorang khalifah, karena negara Indonesia mayoritas Islam, maka negaranya harus Islam. Dan mengenai aparaturnya, tidak mesti Islam, tetapi memberi peluang kepada agama lain untuk menduduki jabatan strategis lainnya.

Mengenai kedaulatan negara, Natsir mengungkapkan istilah teodemokrasi, yaitu demokrasi yang tidak hampa dari nilai-nilai ketuhanan, atau demokrasi yang tidak tercerai dari nilai-nilai ketuhanan.

Mengenai dasar negara, sebelum sidang konstituante Mohammad Natsir sangat gigih membela Pancasila. Ia menyatakan bahwa Pancasila merupakan hasil kristalisasi yang disebutnya lima ciri kebijakan hasil musyawarah antara pemimpin-pemimpin bangsa, dan tidak bertentangan dengan al-Quran. Namun ketika sidang konstituante dan pasca itu, Natsir sangat gigih menggelorakan semangat dan mengusulkan Islam sebagai dasar negara. Hal ini cukup beralasan, karena selain ia memiliki latar belakang pendidikan informal keagamaan kepada A. Hasan yang terkenal memiliki pemikiran Islam radikal, juga Natsir menyuarakan partai Islam, yaitu mewakili Masyumi. Ia menyatakan bahwa Pancasila sekular dan netral.

Implikasi pemikiran Natsir yang memiliki kecenderungan politik identik dan kritis terhadap roda pemerintahan yang kurang mengindahkan demokrasi, adalah tersingkirnya ia dari pentas politik, karir politiknya berakhir di penjara menjadi tahanan politik serta dibubarkannya partai Masyumi.

3.2 Rekomendasi

Pemikiran Natsir perlu dikembangkan dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia khususnya mengenai pemikirannya tentang teodemokrasi, yaitu demokrasi yang tidak hampa dari nilai-nilai ketuhanan, atau demokrasi yang tidak tercerai dari nilai-nilai ketuhanan.Dalam konteks kekinian, menjadikan Indonesia sebagai Negara Islam adalah suatu hal yang tidak mungkin sebagaimana yang dicita-citakan oleh Natsir, akan tetapi menyemangati semua konsep dan prilaku para penyelenggara negara dengan konsep yang ada dalam al-Qur’an dan Hadits adalah sesuatu hal pula yang mungkin dapat diprakktekkan saat ini.